Cari Blog Ini

Selasa, 19 April 2011

Karena Sahabat Adalah Kekuatan

Di bawah pohon akasia di taman sekolah seperti biasa aku menunggu kedatangan sahabatku, Diandra namanya kami sudah bersahabat sejak masih Sekolah Dasar hingga sekarang sudah duduk di bangku SMA, kelas 11 tepatnya, dan kami berharap selalu bersama dan persahabatan ini sampai akhir hayat.
Pagi itu Diandra terlihat lesu saat muncul dihadapanku, entah apa yang menggelayuti pikirannya. Pandangannya kosong wajahnya muram aku bahkan tak berani sekedar menanyakan apa yang sedang terjadi, yang ku tahu kalau wajahnya sudah seperti itu yang dia inginkan adalah menyendiri dan menangis sambil membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya, aku kenal sahabatku ini dengan baik jadi aku tentu sudah hafal dengan tingkah lakunya.
“Dill aku mau cerita, mungkin kamu heran kenapa kali ini aku mau cerita, karena biasanya aku pendam sendiri, tapi kali ini aku harus benar-benar cerita”.
“ya sudah cerita … aku dengerin kok”
“Dill ini sebenernya rahasia,tapi aku percaya kalau kamu itu bisa jaga rahasia”
Dia diam sebentar mengatur nafas, raut wajahnya benar-benar melukiskan kegundahan hatinya.
“Dill ini tentang Papa aku….”
“iyaa.. Papa kamu kenapa?”
“Aduh Dil sepertinya tidak usah, aku terlalu malu kalau harus cerita soal ini sama kamu”
“Ayo Ndra mungkin saja aku bisa bantu meringankan beban kamu, atau sekedar kasih kamu nasihat mungkin? Cerita yahh”
“Ya Sudah, aku cerita. Tempo hari waktu kita jalan ke Taman tempat biasa kita nongkrong sebenarnya aku lihat papaku sama perempuan lain, tapi aku pikir paling rekan bisnisnya saja. Karena tidak mau menganggu jadi aku ajak kamu pergi sebelum kamu lihat Papa dan mengajakku untuk bertemu dengannya. Tapi saat pulang dari taman aku lihat Mama di pojok kamar menangis ”
Diandra kemudian berhenti sejenak, terlihat sekali butiran air matanya yang hendak jatuh, berusaha ia tahan namun akhirnya mengalir juga. Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi.
“Ndra sebenrnya ada apa? Kenapa Mama kamu menangis dan kenapa sekarang kamu jadi ikut menangis juga?”
“Ternyata Mama juga lihat Papa di taman sama perempuan itu, dan ternyata perempuan itu bukan rekan kerja Papa . Dia itu selingkuhan Papa aku Dill, apa kamu bisa membayangkan bagaimana sedihnya aku tahu ini semua dan bagaimana sedihnya Mama aku?”
Diandra menangis sejadi-jadinya dan akupun berusaha menenangkannya
“Apa Kamu atau Mama kamu udah minta penjelasan dari Papa kamu, mungkin saja kalian salah paham dan itu memang benar-benar rekan kerja Papa kamu, yaa bisa saja kan?”
“Dill perempuan itu memang selingkuhan Papa, Mama mendatangi mereka dan akhirnya Papa aku mengakui lalu kabur bersama perempuan itu!”
“Astaghfirullah kamu yang sabar yahh Ndra.. aku tahu ini bukan hal yang kecil tapi aku tahu kamu sama Mama kamu kuat menghadapi semua ini”
“Dill aku mau kamu tetap ada disisi aku disaat sulit seperti sekarang ini Cuma kamu yang bisa menenangkan aku”
“Pasti, aku yakin Allah punya rencana yang baik buat kamu yang penting kamu kuat dan sabar menghadapinya, air matanya aku hapus yahh”
Bel masukpun berbunyi dan kami masuk kelas dengan wajah yang muram.
Proses belajar berlangsung seperti biasanya dan betapa kagumnya aku menyaksikan Diandra ditengah kegundahan hatinya dia tetap menunjukkan bahwa ia adalah Siswi terbaik di angkatan kami, dia gadis yang cerdas, cantik, baik dan ramah, sehingga banyak lelaki yang mengantri untuk mendapatkan hatinya.
Namun dari dulu sampai sekarang dan ditambah lagi dengan permasalahan Papanya. Dia semakin yakin kalau semua lelaki didunia ini sama saja, hanya manis dimulut, hal yang paling ia benci di dunia ini adalah pengkhianatan. Dan betapa malangnya ia benar-benar merasakan apa yang selama ini ia takutkan. Bisa kubayangkan betapa sedih hatinya menghadapi semua ini, selama hidupnya hanya Papanya lah satu-satunya lelaki yang dia percaya namun sepertinya harapan tak sesuai dengan kenyataan.
Usai pelajaran sekolah aku mengantar Diandra pulang dan sedikit memberi nasihat, lalu pulanglah aku keperaduanku karena lelah seharian beraktivitas disekolah.
Aku termenung memandang langit-langit kamar, dan ketika teringat dengan kisah sedih Diandra hatiku terasa sakit sekali, aku juga jadi ikut tersedu olehnya, Diandra Belahan Jiwa bagiku, sudah seperti saudara sedarah saja.

Apa yang bisa kulakukan untuknya, dulu saat ekonomi keluargaku susah, dialah yang selalu datang memberi bantuan tanpa pamrih sedikitpun, memang sejak ayahku meninggal dunia, Ibuku banting tulang mencari nafkah untuk memberiku makan dan menyekolahkanku aku anak semata wayang yang selalu ia banggakan. Sampai saat usaha  salon kecantikan Ibu sukses dan punya beberapa cabang. Hatiku seolah terpanggil untuk membalas kemurahan hati sahabatku itu. Semoga Allah memberi petunjuk.
Hari-hari kami mulai berjalan seperti biasanya, beberapa kali kulihat Diandra termenung sebentar namun dengan tegarnya dia mengalihkan kesedihannya dengan menyibukkan diri dengan kegiatan OSIS. Akupun berusaha untuk tidak mengungkit atau mengingatkan Andra soal masalahnya itu, aku tak akan tahan melihat airmatanya.
“Heiii Dill, kok melamun sihh.. ?? kamu ada masalah?”
“Melamun? Tidak,, kecapean iyaa”
“yee,, baru disuruh susun proposal buat PENSI saja capek mana nihh semangat calon Reporternya ???”
“Apa coba hubungannya Reporter sama proposal beginian? Nahh calon Jurnalis kayak kamu tuh yang cocok !”
“Exitednya Reporter itu sangat dibutuhkan tau kalau Jurnalisnya butuh bantuan, iya iya aku bantu kalau sekertaris OSIS ini bukan sahabat aku, sudah aku pecat dari kemarin-kemarin”
“Maaf dehh ibu ketua OSIS hehehe”
Kami berdua Akhirnya menyelesaikan Proposal untuk kegiatan Pentas Seni dan pulang kerumah masing-masing. Sebenarnya besok libur tapi proposalnya harus kami serahkan ke Kepala Sekolah untuk ditanda tangani kerena kami harus mencari dana untuk kegiatan yang selalu kami adakan setiap tahunnya ini.
Esok harinya di hari minggu, weekend yang seharusnya kami gunakan untuk bersantai ria malah sibuk-sibuknya sekarang. Kami berjalan menyusuri jalan dengan scuter matic kesayanganku untuk menemui Kepala Sekolah di kediamannya. Setelah sampai dirumah KepSek kami disambut dengan hangat dan dipersilahkan masuk, tanpa banyak kata lagi setelah membaca Proposal yang telah kami susun KepSek langsung menandatangani.
“Semoga Acaranya Sukses !”
“Terimakasih pak, kami permisi dulu”

            Saat hendak berjalan menuju tempat kami parkir aku melihat wajah Diandra pucat pasih. Entah kelelahan atau apa.
            “Ndra kamu kenapa ? Pucat Sekali”
            “A a kuu tidak apa-apa kok Dill”
            Tiba-tiba Diandra terjatuh pingsan tak sadarkan diri
            “Andraaaa!!! Ndra bangun Ndra kamu kenapa… Tolong.. Tolong”
            Aku panik sekali ini pertama kalinya aku melihat Andra pingsan secara langsung. Aku sering mendengar cerita mamahnya kalau 3 bulan terakhir ini Diandra sering pingsan tapi setelah sadar Diandra mengatakan kalau dia hanya kecapean saja dan dia selalu menolak jika hendak dibawah kerumah sakit. Pembantu KepSek segera membantuku mengangkat Diandra. KepSek panik lalu menyuruh kami mengangkat Diandra kedalam mobilnya.
            “Ayo cepat kita kerumah sakit!”
            “Iya pak”
            Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sangat khawatir, tak lama berselang Mama Diandra muncul bersama Ibuku. Mata tante Dina terlihat basah, kasihan dia. Disaat seperti ini harus dia lewatkan sendiri karena semenjak kejadian di taman 1 bulan yang lalu Om Sudiptyo Papa Diandra tak pernah lagi menampakkan wajahnya untuk sekedar menanyakan keadaan Diandra anak semata wayangnya bersama Tante Dina.
            “Dilla, Diandra kenapa ? Apa Diandra pernah cerita sesuatu sama kamu tentang masalah kesehatannya?”
            “Tidak sekali pun Tante, Diandra tidak akan pernah cerita kalau masalah seperti ini dia selalu tidak ingin menyusahkan siapa-siapa”
            “Tante khawatir sekali sayang “
            “Iya Tante Dilla tahu”
            “Yang Sabar yahh Bu Dina Insya Allah Diandra baik-baik saja”
            Tante Dina lalu menangis dipelukan Ibuku. Tak lama kemudian Dokter keluar dengan wajah yang sangat mengguratkan ke ibaannya .
            “Bagaimana Keadaan Putri saya Dokter”
            “Anda Ibunya?, Mohon ikut keruangan saya, ada hal yang penting ingin saya bicarakan”
            Tante Dina berbicara dengan dokter sekitar 20 menit lalu keluar dari ruangan Dokter dengan tangis yang mengalir. Tante Dina tiba-tiba memelukku dan menatakan hal yang sangat mengejutkan bagiku.
            “Diandra sakit Ginjal dan harus segera mendapatkan donor karena Ginjalnya sudah stadium 4 Dilla”
            “Apa!! Ini tidak mungkin tante, kenapa Diandra tidak cerita sihh sama aku”
            “Pasien sudah sadar, hanya 1 orang saja yang boleh masuk dulu. Keluarga bisa ikut saya untuk menyelesaikan administrasi”
            “Baik Suster, Bu Dina biar saya yang selesaikan administrasi, Ibu lihat keadaan Diandra saja, permisi”
            “Terimakasih Bu Pertiwi, Dilla tante masuk dulu yah, terima kasih pak Kepala Sekolah sudah mengantarkan anak saya kerumah sakit”
            “Sama-sama Bu, saya pamit pulang dulu, Semoga Diandra cepat sembuh”
            “Terimakasih pak maaf merepotkan”
            “Tidak apa-apa Dilla Bapak pulang dulu”
            Tante Dina masuk hanya sebentar dan keluar beberapa saat kamudian. Aku lalu dipersilahkannya masuk, karena Diandra ingin bertemu denganku. Saat masuk aku tak bisa menahan air mataku melihat keadaan diandra yang sangat lemah, pucat sekali.
            “Dill, don’t cry. I don’t want see you cry because of me, here come close to me”
            “Ndra apasih kamu sempat-sempatnya lagi speaking English, aku sekarang itu mau marah sama kamu!”
            “Sorry Dill, I’m really sorry. sebenarnya 2 bulan yang lalu aku diam-diam periksa kerumah sakit. Aku kaget pas tau kalau aku sakit ginjal. Aku tidak cerita sama kamu atau keluarga aku takut kalian khawatir berlebihan kayak sekarang”
            “Khawatir yang berlebihan? kamu itu yahh”
            Rasanya tak kuat lagi menahan rasa sedihku. Diandra aku peluk sambil menangis sekencang-kencangnya.
            Aku, Ibu dan Tante Dina menginap dirumah sakit. Meskipun begitu aku harus tetap bersekolah untuk melaksanakan kewajibanku, diwaktu luang aku sempatkan untuk rapat OSIS menyerahkan semua yang telah dikerjakan Diandra untuk dilanjutkan oleh wakil Ketua OSIS agar acara yang telah disusun susah payah oleh Diandra tetap berjalan sebagai mana mestinya.
            Pulang dari sekolah aku tak langsung ke Rumah Sakit, melainkan pergi mencari diman keberadaan Om Sudiptyo, tekadku adalah mengembaliakn senyum khas Diandra dan semangat hidupnya yang hilang. Usahaku tak sia-sia berbekal informasi yang didapatkan oleh Tante Dina aku berhasil menemukan keberadaan Om Sudiptyo. Dan Alhamdulillah ternyata dia telah meninggalkan wanita yang telah merasuki akal sehatnya, namun ia tak punya keberanian untuk kembali pulang, takut tak diterima oleh Tante Dina dan Diandra. Setelah menceritakan panjang lebar mengenai penyakit yang dialami Diandra Om Sudiptyo menangis sejadi-jadinya. Bagiku setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua.
            Kami tiba di Rumah Sakit tempat Diandra dirawat. Lega rasanya melihat keluarga itu kembali utuh sebagaimana sediakala. Semoga tak ada lagi yang memecah mereka.
            Aku menemani Diandra diruang rawat inap, sebab kedua orang tuanya harus tes apakah Ginjal mereka cocok untuk disumbangkan salah satunya demi kesembuhan Diandra. Sulit sekali mencari donor ginjal, sebab walaupun mereka dalah orang tua kandung Diandra belum tentu Ginjal mereka cocok untuk Diandra.
            Kepanikan seketika terjadi ketika diantara Om Sudiptyo dan Tante Dina tak satupun yang memenuhi kecocokan minimal 50%. Tanpa piker panjang aku mengajukan diri untuk mengikuti tes kecocokan. Setelah menunggu beberapa jam lamanya. Aku membuka hasil tes yang diberiakan dokter.
            “Kecocokan 65% !! Alhamdulillah”
            “Alhamdulillah, tapi apa Ibu kamu setuju nak Dilla?”
            Belum sempat aku mengatakan kepastiannya. Ibuku muncul dan mengatakan.
            “Tentu saja, Diandra sudah seperti anak saya sendiri, Bu Dina tidak perlu Khawatir”
            “Terimakasih banyak nak Dilla, Bu Pertiwi bantuan kalian sangat berarti untuk kami”
            “Bagaiman apa operasinya saya siapkan sekarang juga?”
            “Iya sekarang juga Dokter”
            Malam harinya kami dibawa keruang operasi sebelum di suntikkan obat tidur aku dan Diandra saling berpegangan tangan.
            “Bismillah ya Ndra Insya Allah lancar”
            “Amin, thanks dear. Aku tidak tahu harus bilang apa sama kamu”
            “Kamu hanya perlu jadi sahabat aku selamanya Ndra , itu sudah lebih dari cukup”
            Kata ibuku kami di operasi selama 4 jam lamanya, dan Alhamdulillah operasinya berhasil. Hanya butuh beberapa hari saja masa pemulihan. Setelah cek up Diandra dinyatakan telah sembuh dan keadaanku sendiri baik-baik saja. Kami kembali bersekolah, hang out dan melakukan aktivitas lain seperti biasanya.
            Pentas Seni di gelar dan sebagai ketua OSIS Diandra yang membuka acara. Dan menyampaikan sepatah dua kata.
            “Terimaksih untuk Kepala Sekolah, Guru-guru, para Sponsor dan pendukung acara ini serta para panitia yang dengan baik telah menyiapkan acara yang setiap tahunnya kita adakan ini. Sebelum membuka Pentas Seni SMA Kartini 2011. saya mohon kesediaannya Sahabat saya Dilla Pramudya untuk naik keatas panggung menemani saya”
            “hahh!!??”
            “Naik dong Dill”
            Akupun naik dengan penuh kebingungan aku paling gugup kalau sudah ada di atas panggung.
            “hadirin yang ada disini saya ingin menyampaikan sedikit cerita, tentang seorang sahabat yang  selalu ada, siap mendengar membantu dan menjadi pendorong semangat bagi orang lain . ketika hidup terasa sulit untuk dilanjutkan dan kita merasa harus berhenti sekarang, maka dia akan datang memegang tangan dan mengatakan kamu bisa. Tanpa dia sadari dia telah menancapkan kekuatan dan keyakinan untuk tetap menatap masa depan. Semoga sedikit cerita ini menjadi semangat untuk para peserta untuk terus maju dan kejar apa yang kamu inginkan”
            Diandra menggenggam tanganku. Pikirku senyumnya telah kembali, akupun ikut senyum dengan penuh keharuan.
            “Dengan ucapan Bismillahirahmanirahim Pentas Seni SMA Kartini 2011, kami buka”
            Tepuk tangan terang saja membanjiri setelah mendengar ucapan Diandra. Dia memelukku erat sekali. Kami turun dari panggung dengan penuh rasa bahagia. Ini adalah kegiatan terakhir kami sebagai pengurus OSIS karena sesuai peraturan yang ada setelah kami kelas 12 kami tidak dapat lagi menjadi pengurus OSIS karena di fokuskan untuk persiapan Ujian Nasional. Acara ini perpisahan bagi kami.
            Setiap jalan yang telah diberikan takkan bisa kita hindari kita hanya perlu melewatinya dengan kekuatan dan penuh kesabaran. Yang terpenting adalah keberadaan seorang sahabat. karena sahabat adalah kekuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar